Ujung Kampung

Tokoh

Mohammad Natsir: Jabatan dan kedudukan tak seharusnya mengubah kesahajaan.

Perdagangan dan agama adalah dua hal yang begitu lekat dengan M. Natsir sejak terlahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Berkali-kali dia tinggal bersama saudagar dan tak henti menuntut ilmu agama Islam. Saat menimba ilmu di Hollandsch Indische School (HIS), ia juga tetap belajar di madrasah diniyah. Selepas dari HIS, Natsir melanjutkan studinya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), lalu ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung.

Kegemarannya berorganisasi dimulai sejak di MULO. Natsir antara lain bergabung dengan Pandu Nationale Islamietische Pavinderij, dan Jong Islamieten Bond. Kiprahnya terus mengemuka di pelbagai organisasi. Ia kemudian menjadi Wakil Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Presiden Liga Muslim Sedunia (World Moslem Congress), dan Ketua Dewan Masjid Sedunia.

Natsir menyita perhatian ketika menyampaikan mosi integral pada 1950. Ia lantas diangkat menjadi perdana menteri walaupun hanya sebentar bertugas karena ada penolakan dan perlawanan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) menyusul kritik terhadap Soekarno atas ketimpangan kesejahteraan antara Jawa dan luar Jawa.

Ketidakpuasan membuat Natsir bergabung dengan gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Ini membuat ia ditangkap dan dipenjarakan pada 1962. Sikap kritis Natsir berlanjut pada era Orde Baru. Natsir termasuk salah satu penanda tangan Petisi 50 pada 5 Mei 1980. Meski demikian, sosok yang meninggal pada 6 Februari 1993 ini tetap berkontribusi besar. Antara lain dalam mencairkan hubungan Indonesia dan Malaysia.

Kemeja bertambal
Seorang menteri yang juga tokoh ternama di dunia internasional mengenakan kemeja bertambal? Jika hal itu diungkapkan pada saat ini, mungkin tak ada orang yang akan percaya. Namun, dulu sosok seperti itu nyata adanya. Dialah Mohammad Natsir, tokoh besar yang berkali-kali menjadi menteri dan sempat pula menjabat perdana menteri.

George McTurnan Kahin, guru besar Universitas Cornell, Amerika Serikat, sampai terhenyak kala bertemu M. Natsir untuk kali pertama pada 1946. Ketika itu, Natsir adalah Menteri Penerangan RI. “Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” terang Kahin seperti tertulis dalam buku Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.

Belakangan, Kahin mengetahui bahwa Natsir hanya memiliki dua stel kemeja kerja yang sudah tidak begitu bagus. Natsir tak malu menjahit kemejanya itu bila robek. Hal itu sampai membuat para pegawai Kementerian Penerangan mengumpulkan uang untuk membelikan Natsir baju agar terlihat seperti menteri sungguhan.

Syukuri apa adanya
“Mobil itu bukan milik kita. Lagi pula, yang ada masih cukup. Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.”

Demikianlah jawaban Mohammad Natsir atas pertanyaan putrinya, Lies, pada suatu ketika. Hal yang ditanyakan Lies adalah putusan sang ayah menolak pemberian sebuah mobil dari tamunya. Padahal, mobil yang akan diberikan sang tamu kepada Natsir yang saat itu memimpin Fraksi Masyumi di parlemen adalah buatan Amerika Serikat yang tergolong mewah.

Dalam pandangan Lies, mobil itu bisa menggantikan mobil ayahnya yang sudah kusam.

Natsir berpandangan lain. Ia pantang menerima pemberian seseorang yang lantas akan menjadi beban dalam menjalankan amanah. Natsir memang lebih suka memenuhi kebutuhan hidup dengan perjuangannya sendiri. Bertahun-tahun, Natsir tak malu nenumpang di paviliun rumah Prawoto Mangkusasmito. Dia pun sempat menumpang di rumah H. Agus Salim. Baru pada 1946, pemerintah memberikan rumah dinas kepadanya.

ORANGE JUICE FOR INTEGRITY
Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa
Diterbitkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Kedeputian Bidang Pencegahan
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *