Ujung Kampung

Tokoh

Mohammad Hatta: Setiap perbuatan adalah demi Negara yang dicintai, janganlah berkhianat

Sosok Mohammad Hatta dikenal sebagai seorang negarawan besar Indonesia. Selain menjadi ujung tombak dalam beberapa perundingan dengan pemerintah kolonial Belanda, Hatta adalah ekonom jempolan dan orang pertama yang menjabat wakil presiden.

Kisah hidup Hatta penuh warna. Dia lahir di Bukttinggi, 12 Agustus 1902, dalam keluarga yang dipengaruhi dua hal berbeda. Ayahnya berasal dari keluarga ulama, sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang.

Namun, Hatta yang terlahir dengan nama Mohammad Athar tak lama menikmati belaian sang ayah. Saat Hatta berumur tujuh bulan, sang ayah meninggal dunia.

Memulai pendidikan di Sekolah Rakyat Melayu Fort De kock pada 1913, Hatta pindah ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang pada 1916. Setelah lulus, ia meneruskan studi ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di kota yang sama.

Sejak masuk MULO inilah Hatta mulai tertarik pada pergerakan. Ia lantas bergabung dengan Jong Sumatranen Bond. Di sana, hingga 1921, Hatta menjabat bendahara.

Sosoknya kian mengemuka semasa menimba ilmu di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam pada 1921. Ia bergabung dengan Indische Vereniging yang lantas berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Pada 1926, Hatta menjadi pemimpin organisasi pergerakan nasional di Belanda tersebut.

Karena pengaruhnya yang besar, Hatta berkali-kali ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah kolonial. Namun, perjuangannya tak pernah berhenti hingga menjadi sosok yang mendampingi Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Selain menjadi wakil presiden, Hatta juga sempat menjabat menteri luar negeri dan perdana menteri.

Hatta meninggal pada 14 Maret 1980 setelah dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Jenazahnya kemudian dikebumikan di TPU Tanah Kusir.

Kembalikan saja uang itu
Jujur, sederhana, dan teguh memegang prinsip. Begitulah kepribadian Mohammad Hatta. Mahar Mardjono, mantan Rektor Universitas Indonesia yang juga seorang dokter, menjadi saksi hal tersebut ketika mendampingi Bung Hatta berobat ke luar negeri pada 1970-an.

“Waktu singgah di Bangkok dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Bung Hatta bertanya kepada sekretarisnya, Pak Wangsa, jumlah sisa uang yang diberikan pemerintah untuk berobat. Ternyata sebagian uang masih utuh karena ongkos pengobatan tak sebesar dari dugaan. Segera Hatta memerintahkan mengembalikan uang sisa itu kepada pemerintah via Kedubes RI di Bangkok,” ungkap Mahar.

Hal serupa juga dilakukan Bung Hatta sesaat setelah lengser dari posisinya sebagai wakil presiden. Kala itu, Sekretaris Kabinet Maria Ulfah menyodorkan uang Rp6 juta yang merupakan sisa dana nonbujeter untuk keperluan operasional dirinya selama menjabat wakil presiden. Namun, dana itu ditolaknya. Bung Hatta mengembalikan uang itu kepada negara. Bung Hatta melakukan itu karena tak ingin meracuni diri dan mengotori jiwanya dengan rezeki yang bukan haknya. Dia selalu teringat pepatah Jerman, Der Mensch ist, war es iszt, sikap manusia sepadan dengan caranya mendapat makan.

Demi sebuah rahasia
“Aduh, Ayah! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu akan ada penotongan uang? Ya.., uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tak bisa lagi, tak ada harganya.”

Kalimat penyesalan itu terlontah dari mulut Rahmi Hatta, istri wakil presiden saat itu, Mohammad Hatta. Ibu Rahmi pantas kecewa. Demi membeli sebuah mesin jahit, sedikit demi sedikit ia menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta.

Namun, ketika tabungannya sudah cukup untuk membeli mesin jahit idamannya, tiba-tiba saja pemerintah mengeluarkan kebijakan senering (pemotongan nilai uang) dari Rp100 menjadi Rp1. Alhasil, nilai tabungan Ibu Rahmi pun menurun dan tak lagi cukup untuk membeli mesin jahit. Ibu Rahmi merasa dikhianati karena justru Bung Hatta yang mengumumkan senering tersebut.

Keluhan sang istri yang akrab dipanggil Yuke itu tak membuat Bung Hatta marah. Dengan tenang, dia berujar, “Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. Lalu, kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memeri tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik!”

“Kepentingan negara tidak ada sangkut pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sungguhpun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapa pun. Biarlah kita rugi sedikit demi kepentingan seluruh negara. Kita coba nabung lagi, ya.”

Mimpi tak terbeli
Seperti wajarnya manusia biasa, Mohammad Hatta juga memiliki impian yang berkaitan dengan materi. Salah satunya, dia begitu mengidamkan sepatu Bally. Pada 1950-an, Bally adalah merek sepatu bermutu tinggi.

Harganya tentu saja tidaklah murah. Potongan iklan yang memuat alamat penjual sepatu itu menjadi saksi bisu keinginan sang wakil presiden. Demi sepatu itu, Bung Hatta berusaha menabung. Namun, uang tabungannya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang meminta pertolongan.

Hingga akhir hayatnya, Bung Hatta tak pernah bisa memiliki sepatu Bally idamannya itu. Sebenarnya bisa saja Bung Hatta merealisasikan keinginannya. Dia tinggal meminta bantuan orang lain untuk membelikan sepatu itu. Namun, bagi Bung Hatta, itu mencederai prinsip hidup dan kesetiaannya kepada negara.

Sumber:
ORANGE JUICE FOR INTEGRITY
Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa
Diterbitkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Kedeputian Bidang Pencegahan
Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *