Ujung Kampung

Uncategorized

Pandemi COVID-19: Hentikan stigma dan diskriminasi

corona Virus Disease 2019 atau sering disebut COVID-19 ditetapkan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO) karena Virus tersebut sudah menyebar hampir ke seluruh negara di dunia. Pandemi (dari bahasa Yunani πᾶν pan yang artinya semua dan δήμος demos yang artinya orang) adalah epidemi penyakit yang menyebar di wilayah yang luas, misalnya beberapa benua, atau di seluruh dunia.

Dampak pandemi virus corona telah merubah kehidupan manusia sehari-hari. Penyebaran virus corona sudah sampai di 34 provinsi dan hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Hal Ini menandakan bahwa penyebaran virus corona sangat cepat sehingga masyakat diharapkan disiplin untuk mengikuti anjuran pemerintah.

Pemerintah indonesia telah menerapkan kebijakan physical distancing untuk penanganan dan pencegahan penularan COVID-19. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang mengabaikan instruksi tersebut.

Di sisi lain, ada hal yang tak kalah memprihatinkan, stigma dan diskrimasi terhadap pasien atau orang yang diduga terpapar COVID-19 masih saja terjadi.

Slogan “Corona bukan aib” tidak mampu membendung stigma dan diskriminasi yang terlanjur disematkan ke pasien atau orang yang diduga terpapar covid-19. Sungguh sangat menyakitkan, bahkan keluarga mereka turut dikucilkan masyarakat. Akhirnya, ada yang terpaksa memilih bersikap tidak jujur agar tidak mendapat stigma. Hal ini juga dilakukan oleh seluruh anggota keluarganya.

Ketakutan akan stigma masyarakat, membuat mereka merasa cemas, malu, tidak dihargai, bahkan cenderung menunjukan sikap bermusuhan. Kondisi tersebut tidak kondusif bagi kehidupan sosial di tengah masyarakat.

Organsiasi Kesehatan Dunia (WHO) menyayangkan stigma yang telah beredar di masyarakat. Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO mengatakan “Sangat menyakitkan melihat stigma yang beredar” dan sejujurnya, stigma lebih berbahaya dari virus itu sendiri. Stigma adalah musuh yang paling berbahaya”.

Dengan situasi seperti ini maka pemerintah bersama tokoh-tokoh masyarakat selayaknya terus memberikan edukasi bagi masyarakat agar menghentikan stigma dan tindakan diskriminasi pada pasien atau orang yang diduga terpapar COVID-19. Edukasi perlu dilakukan sampai ke tingkat desa dan dilakukan secara terus menerus sampai pandemi ini berakhir, sehingga benar-benar sampai di masyarakat. Jangan biarkan stigma tumbuh subur di tengah pandemi COVID-19.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah menghimbau masyarakat agar menerima kembali orang yang dinyatakan sembuh, kembali ke rumah atau kampung halaman, pasca perawatan dari rumah sakit.

Mereka adalah saudara kita, selayaknya memberikan bantuan apa yang mereka butuhkan atau paling tidak jangan jauhi mereka. Terimalah mereka sebagaimana saat mereka belum terpapar virus corona. Pantas bagi kita menjauhi penyakitnya, tetapi tidak sepantasnya melakukan tindakan diskriminatif.

Mari tetap menjaga kesehatan dan jangan panik ditengah pandemi COVID-19. Pesan seorang filsuf, ilmuwan, dan dokter yang bernama Ibnu Sina, tetap aktual dan menggema di tengah pandemi COVID-19 “Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah langkah awal kesembuhan”. (Ibnu Sina)

Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *